TEORI MEDAN DAKWAH
Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah
Zaen. Lc
Mengenal masyarakat yang akan
kita dakwahi dan mempelajari medan dakwah yang akan kita arungi sebelum terjun
ke dalamnya.
Sejarah kehidupan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak memberi contoh tentang praktek beliau dalam
hal ini. Penulis akan bawakan beberapa contoh proses Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam mengenali seseorang sebelum mendakwahinya:
Contoh pertama: Ketika
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Thaif lalu penduduknya
mengusir beliau dan berusaha untuk menyakitinya, beliaupun berusaha
menyelamatkan diri hingga sampai di kebun dua orang bersaudara: ‘Utbah bin
Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Sesampainya beliau di kebun itu dan akan
beristirahat, beliau bertemu dengan pembantu mereka berdua yang bernama ‘Addas.
Apakah gerangan percakapan yang terjadi antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan ‘Addas?
Pertama kali yang ditanyakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
(من أي بلد أنت يا عداس؟ وما دينك؟).
Lihatlah bagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka pembicaraannya dengan fase pengenalan
terhadap orang yang akan didakwahi, sebelum lebih lanjut menawarkan ajaran
Islam kepadanya[2].
Contoh kedua: Tatkala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan agama Islam terhadap
kabilah-kabilah Arab, beliau membawa ahli nasab dari suku Quraisy yaitu Abu
Bakar ash-Shiddiq[3]. Apa gerangan tugas Abu Bakar? Tugas beliau adalah
mengenalkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam siapa yang sedang
berada di hadapannya, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa memilih
cara yang sesuai dengan mereka yang akan beliau dakwahi.
Contoh ketiga: Tatkala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal untuk
berdakwah ke Yaman, di antara pesan pertama yang diberikan beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Mu’adz adalah sabdanya,
(إنك تأتي قوما من أهل الكتاب).
“Sesungguhnya engkau akan
mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahlul Kitab”[4].
Para ulama menyebutkan bahwa di
antara hikmah pesan Nabi kepada Mu’adz ini; adalah agar dia mengenal
karakter orang yang akan didakwahinya[5], sehingga dia siap untuk berdebat
dengan mereka[6], karena mereka adalah orang yang memiliki ilmu.
Pendek kata, mengenal masyarakat
sebelum mendakwahi mereka adalah merupakan suatu hal yang amat urgen bagi
seorang da’i; agar dia bisa memilih metode, kata-kata, sikap dan lain
sebagainya yang sesuai dengan masyarakat tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa
masyarakat amat beragam dalam keyakinan, adat istiadat, tabiat, kedudukan
sosial, dan tingkat pemahaman, serta kesiapan mereka untuk menerima hal-hal
yang mereka anggap ‘baru’. Maka seorang da’i yang ingin sukses dalam dakwahnya
tertuntut untuk mempelajari hal-hal di atas; sehingga dia bisa memilih metode,
kata-kata, sikap dan lain sebagainya yang pas dengan masyarakat tersebut.
Berikut di bawah ini penulis
bawakan beberapa contoh praktek nyata pemilihan metode dakwah yang dibangun di
atas pengenalan terhadap mad’u:
A. Jika kita telah mengetahui
bahwa yang kita hadapi adalah orang awam seperti buruh bangunan, abang
becak, buruh tani, penjual jamu, atau orang yang buta buruh, atau tidak tamat
SD, maka bukan merupakan hikmah -jika kita ingin mengajarkan tauhid yang benar
kepada mereka- kita bacakan kepada mereka kitab Ushul Tsalatsah dari A sampai Z
perhuruf; karena ghalibnya orang-orang seperti mereka membutuhkan penjelasan
yang simpel dan mudah ditangkap oleh otak mereka.
Maka sebaiknya cukup kita bawakan
kepada mereka inti kitab Ushul Tsalatsah dengan kita katakan:
“Bapak-bapak/Ibu-ibu, kunci masuk
surga ada empat: ilmu agama, mengamalkan ilmu tersebut, mengajarkannya, serta
bersabar ketika mencari ilmu mengamalkan dan mengajarkannya. Ilmu agama ada
tiga: Mengenal Allah, mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mengenal agama Islam.
Mengenal Allah adalah meyakini
bahwa Allah itu ada, dan Dialah satu-satunya Pencipta dan Pemberi rizki,
sehingga Dialah satu-satunya yang berhak untuk kita sembah.
Mengenal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah dengan menta’ati perintahnya, menjauhi larangannya,
mempercayai apa yang diberitahukan olehnya dan beribadah kepada Allah dengan
tata cara yang telah diajarkan olehnya.
Mengenal agama Islam adalah
dengan mengetahui bahwa setiap amalan di dalam agama Islam tidak akan diterima
oleh Allah melainkan dengan dua syarat yaitu Ikhlas lillahi ta’ala dan sesuai
dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Inilah kira-kira inti isi kitab
Ushul Tsalatsah[7], yang jika disampaikan kepada orang awam dengan penjabaran
yang lugas dan contoh-contoh yang bisa ditangkap oleh otak mereka, insyaAllah
mereka telah dianggap ‘khatam’ dari ngaji kitab Ushul Tsalatsah.
Sebagian da’i menyamakan antara
metode pengajaran kitab Ushul Tsalatsah kepada santri-santri pesantrennya
dengan metode pengajaran kitab tersebut dengan orang-orang awam; akibatnya
meskipun orang-orang awam tersebut telah ‘khatam’ ngaji kitab tersebut dari A
sampai Z kepada sang ustadz, namun jika mereka ditanya tentang apa isi kitab
yang ia pelajari, dia akan diam seribu bahasa dan menggelengkan kepalanya
kebingungan.
Tentunya ini salah satu
kekurangan pada diri sebagian ikhwah para ustadz yang seyogyanya mulai dibenahi,
agar para mad’u kita bisa menapak hari esok yang lebih cerah, amien.
B. Jika kita telah mengenal bahwa
masyarakat yang kita hadapi adalah orang-orang yang phobi dengan kata bid’ah; maka
merupakan hikmah dalam berdakwah, kita menghindari pemakaian kata ini -untuk
sementara waktu hingga mereka paham istilah-istilah syar’i tersebut- dan kita
menggunakan kata-kata lain yang ‘mewakilinya’.
Misalnya: “Amalan ini tidak ada
tuntunannya dari nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam”, atau “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkan amalan ini” atau “Amalan ini
tidak ada haditsnya” atau kalimat-kalimat lain yang lebih terasa ‘enak’ di
telinga mereka, sehingga mereka lebih mudah menerima dakwah yang kita
sampaikan, dan tidak keburu lari sebelum kita mengajarkan hal-hal yang lebih
fundamental kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman,
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ
رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ[.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah
“unzhurna” dan “dengarlah”. Dan bagi orang kafir siksaan yang pedih”. (QS.
Al-Baqarah: 104)
“Raa’ina” dan “Uzhurna” adalah
dua kata yang bermakna sama yaitu: “Perhatikanlah kami”. Hanya saja kata
“Raa’ina” juga mengandung makna lain yang buruk yaitu kebodohan yang amat
sangat (ru’uunah). Kata “raa’ina” ini biasa dipakai oleh orang Yahudi untuk
memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan tujuan mereka adalah
untuk menghina beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka kaum muslimin dilarang oleh
Allah ta’ala untuk menyerupai orang Yahudi dalam pemakaian kata ini, dan
diperintahkan untuk memakai kata lain yang memiliki makna sama yaitu
“unzhurna”, apalagi kata ini tidak mengandung makna yang buruk[8]. Ini
menunjukkan pentingnya pemilihan kata-kata yang tepat dalam berbicara.
Jika masyarakat yang kita hadapi
adalah orang-orang yang phobi dengan nama Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Muhammad
bin Abdul Wahab, atau Ibnu Baz, atau al-Albani, maka kita bisa membawakan
nama-nama ulama lain yang memiliki kedudukan di hati mereka seperti Imam
Bukhari misalnya atau Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu
Hajar atau nama-nama lain yang tidak asing di telinga mereka.
Ataupun jika terpaksa kita
membawakan keterangan-keterangan yang bersumber dari perkataan orang-orang yang
telah ‘tercemar’ nama baiknya di kalangan mad’u kita, maka kita bisa yang
mengganti nama dengan nama lain mereka yang kurang terkenal. Misalnya: Ibnu
Taimiyah bisa memakai nama: Ahmad al-Harrani, Ibnul Qayyim: Syamsuddin
al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab: Muhammad at-Tamimi, Bin Baz: Abdul Aziz
an-Najdi.
Atau bisa juga cukup kita bawakan
kitab-kitab mereka. Misalnya kita katakan: Dalam kitab Minhaj as-Sunnah
disebutkan demikian, atau Madarij as-Salikin, atau Kitab at-Tauhid, atau yang
lainnya. Tanpa menyebutkan nama-nama pengarangnya.
C. Ketika kita mengenal bahwa
orang di depan kita yang akan didakwahi adalah orang yang telah berumur atau
orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat, maka kita berusaha
menghindari cara bicara yang terkesan menggurui; agar mereka lebih mudah
menerima al-haq yang kita bawa.
D. Ketika kita telah mengenal
bahwa yang akan kita hadapi adalah anak-anak kecil, maka seyogyanya kita
berusaha menurunkan ‘kelas’ ungkapan bahasa yang akan kita pakai sesuai dengan
tingkat daya tangkap mereka, agar mereka bisa memahami apa yang kita sampaikan.
Juga kita sisipi dengan permainan-permainan yang menarik mereka, atau
dongeng-dongeng indah -yang bukan fiksi tentunya-.
Catatan Kaki:
[1] Sirah Ibn Hisyam (hal. 421).
[2] Lihat: At-Tadarruj fi Da’wah an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (hal. 106).
[3] Lihat: As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Katsir rahimahullah(II/163).
[4] HR. Bukhari (hal. 289 no. 1458) dan Muslim (I/50 no. 19) dan ini adalah teks riwayat Muslim.
[5] Lihat: Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid karya Syaikh Ibn al-Utsaimin rahimahullah (I/132).
[6] Lihat: At-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah.
[7] Sebagaimana yang diringkas oleh Syaikh Dr. Yusuf bin Muhammad ad-Dakhil hafizhahullah.
[8] Lihat: Tafsir as-Sa’di (hal. 43) dan al-Qur’an dan Terjemahannya (hal. 43 -footnote)
[2] Lihat: At-Tadarruj fi Da’wah an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (hal. 106).
[3] Lihat: As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Katsir rahimahullah(II/163).
[4] HR. Bukhari (hal. 289 no. 1458) dan Muslim (I/50 no. 19) dan ini adalah teks riwayat Muslim.
[5] Lihat: Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid karya Syaikh Ibn al-Utsaimin rahimahullah (I/132).
[6] Lihat: At-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah.
[7] Sebagaimana yang diringkas oleh Syaikh Dr. Yusuf bin Muhammad ad-Dakhil hafizhahullah.
[8] Lihat: Tafsir as-Sa’di (hal. 43) dan al-Qur’an dan Terjemahannya (hal. 43 -footnote)
Disalin Ulang Dari buku: 14
Contoh Hikmah Dalam Berdakwah Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen. Lc (Mahasiswa
Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah)
bisa setres aku bacanya dengan beground seperti ini
BalasHapus