Sabtu, 27 Februari 2016

Teori Medan Dakwah

TEORI MEDAN DAKWAH

Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen. Lc
Mengenal masyarakat yang akan kita dakwahi dan mempelajari medan dakwah yang akan kita arungi sebelum terjun ke dalamnya.
Sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak memberi contoh tentang praktek beliau dalam hal ini. Penulis akan bawakan beberapa contoh proses Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengenali seseorang sebelum mendakwahinya:
Contoh pertama: Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Thaif lalu penduduknya mengusir beliau dan berusaha untuk menyakitinya, beliaupun berusaha menyelamatkan diri hingga sampai di kebun dua orang bersaudara: ‘Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Sesampainya beliau di kebun itu dan akan beristirahat, beliau bertemu dengan pembantu mereka berdua yang bernama ‘Addas. Apakah gerangan percakapan yang terjadi antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ‘Addas?
Pertama kali yang ditanyakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
(من أي بلد أنت يا عداس؟ وما دينك؟).
“Dari negeri manakah asalmu wahai ‘Addas? Apa agamamu?”[1].
Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka pembicaraannya dengan fase pengenalan terhadap orang yang akan didakwahi, sebelum lebih lanjut menawarkan ajaran Islam kepadanya[2].
Contoh kedua: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan agama Islam terhadap kabilah-kabilah Arab, beliau membawa ahli nasab dari suku Quraisy yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq[3]. Apa gerangan tugas Abu Bakar? Tugas beliau adalah mengenalkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam siapa yang sedang berada di hadapannya, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa memilih cara yang sesuai dengan mereka yang akan beliau dakwahi.
Contoh ketiga: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, di antara pesan pertama yang diberikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz adalah sabdanya,
(إنك تأتي قوما من أهل الكتاب).
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahlul Kitab”[4].
Para ulama menyebutkan bahwa di antara hikmah pesan Nabi  kepada Mu’adz ini; adalah agar dia mengenal karakter orang yang akan didakwahinya[5], sehingga dia siap untuk berdebat dengan mereka[6], karena mereka adalah orang yang memiliki ilmu.
Pendek kata, mengenal masyarakat sebelum mendakwahi mereka adalah merupakan suatu hal yang amat urgen bagi seorang da’i; agar dia bisa memilih metode, kata-kata, sikap dan lain sebagainya yang sesuai dengan masyarakat tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat amat beragam dalam keyakinan, adat istiadat, tabiat, kedudukan sosial, dan tingkat pemahaman, serta kesiapan mereka untuk menerima hal-hal yang mereka anggap ‘baru’. Maka seorang da’i yang ingin sukses dalam dakwahnya tertuntut untuk mempelajari hal-hal di atas; sehingga dia bisa memilih metode, kata-kata, sikap dan lain sebagainya yang pas dengan masyarakat tersebut.
Berikut di bawah ini penulis bawakan beberapa contoh praktek nyata pemilihan metode dakwah yang dibangun di atas pengenalan terhadap mad’u:
A. Jika kita telah mengetahui bahwa yang kita hadapi adalah orang awam seperti buruh bangunan, abang becak, buruh tani, penjual jamu, atau orang yang buta buruh, atau tidak tamat SD, maka bukan merupakan hikmah -jika kita ingin mengajarkan tauhid yang benar kepada mereka- kita bacakan kepada mereka kitab Ushul Tsalatsah dari A sampai Z perhuruf; karena ghalibnya orang-orang seperti mereka membutuhkan penjelasan yang simpel dan mudah ditangkap oleh otak mereka.
Maka sebaiknya cukup kita bawakan kepada mereka inti kitab Ushul Tsalatsah dengan kita katakan:
“Bapak-bapak/Ibu-ibu, kunci masuk surga ada empat: ilmu agama, mengamalkan ilmu tersebut, mengajarkannya, serta bersabar ketika mencari ilmu mengamalkan dan mengajarkannya. Ilmu agama ada tiga: Mengenal Allah, mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengenal agama Islam.
Mengenal Allah adalah meyakini bahwa Allah itu ada, dan Dialah satu-satunya Pencipta dan Pemberi rizki, sehingga Dialah satu-satunya yang berhak untuk kita sembah.
Mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan menta’ati perintahnya, menjauhi larangannya, mempercayai apa yang diberitahukan olehnya dan beribadah kepada Allah dengan tata cara yang telah diajarkan olehnya.
Mengenal agama Islam adalah dengan mengetahui bahwa setiap amalan di dalam agama Islam tidak akan diterima oleh Allah melainkan dengan dua syarat yaitu Ikhlas lillahi ta’ala dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Inilah kira-kira inti isi kitab Ushul Tsalatsah[7], yang jika disampaikan kepada orang awam dengan penjabaran yang lugas dan contoh-contoh yang bisa ditangkap oleh otak mereka, insyaAllah mereka telah dianggap ‘khatam’ dari ngaji kitab Ushul Tsalatsah.
Sebagian da’i menyamakan antara metode pengajaran kitab Ushul Tsalatsah kepada santri-santri pesantrennya dengan metode pengajaran kitab tersebut dengan orang-orang awam; akibatnya meskipun orang-orang awam tersebut telah ‘khatam’ ngaji kitab tersebut dari A sampai Z kepada sang ustadz, namun jika mereka ditanya tentang apa isi kitab yang ia pelajari, dia akan diam seribu bahasa dan menggelengkan kepalanya kebingungan.
Tentunya ini salah satu kekurangan pada diri sebagian ikhwah para ustadz yang seyogyanya mulai dibenahi, agar para mad’u kita bisa menapak hari esok yang lebih cerah, amien.
B. Jika kita telah mengenal bahwa masyarakat yang kita hadapi adalah orang-orang yang phobi dengan kata bid’ah; maka merupakan hikmah dalam berdakwah, kita menghindari pemakaian kata ini -untuk sementara waktu hingga mereka paham istilah-istilah syar’i tersebut- dan kita menggunakan kata-kata lain yang ‘mewakilinya’.
Misalnya: “Amalan ini tidak ada tuntunannya dari nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam”, atau “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkan amalan ini” atau “Amalan ini tidak ada haditsnya” atau kalimat-kalimat lain yang lebih terasa ‘enak’ di telinga mereka, sehingga mereka lebih mudah menerima dakwah yang kita sampaikan, dan tidak keburu lari sebelum kita mengajarkan hal-hal yang lebih fundamental kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman,
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ[.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah “unzhurna” dan “dengarlah”. Dan bagi orang kafir siksaan yang pedih”. (QS. Al-Baqarah: 104)
“Raa’ina” dan “Uzhurna” adalah dua kata yang bermakna sama yaitu: “Perhatikanlah kami”. Hanya saja kata “Raa’ina” juga mengandung makna lain yang buruk yaitu kebodohan yang amat sangat (ru’uunah). Kata “raa’ina” ini biasa dipakai oleh orang Yahudi untuk memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan tujuan mereka adalah untuk menghina beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka kaum muslimin dilarang oleh Allah ta’ala untuk menyerupai orang Yahudi dalam pemakaian kata ini, dan diperintahkan untuk memakai kata lain yang memiliki makna sama yaitu “unzhurna”, apalagi kata ini tidak mengandung makna yang buruk[8]. Ini menunjukkan pentingnya pemilihan kata-kata yang tepat dalam berbicara.
Jika masyarakat yang kita hadapi adalah orang-orang yang phobi dengan nama Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahab, atau Ibnu Baz, atau al-Albani, maka kita bisa membawakan nama-nama ulama lain yang memiliki kedudukan di hati mereka seperti Imam Bukhari misalnya atau Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar atau nama-nama lain yang tidak asing di telinga mereka.
Ataupun jika terpaksa kita membawakan keterangan-keterangan yang bersumber dari perkataan orang-orang yang telah ‘tercemar’ nama baiknya di kalangan mad’u kita, maka kita bisa yang mengganti nama dengan nama lain mereka yang kurang terkenal. Misalnya: Ibnu Taimiyah bisa memakai nama: Ahmad al-Harrani, Ibnul Qayyim: Syamsuddin al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab: Muhammad at-Tamimi, Bin Baz: Abdul Aziz an-Najdi.
Atau bisa juga cukup kita bawakan kitab-kitab mereka. Misalnya kita katakan: Dalam kitab Minhaj as-Sunnah disebutkan demikian, atau Madarij as-Salikin, atau Kitab at-Tauhid, atau yang lainnya. Tanpa menyebutkan nama-nama pengarangnya.
C. Ketika kita mengenal bahwa orang di depan kita yang akan didakwahi adalah orang yang telah berumur atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat, maka kita berusaha menghindari cara bicara yang terkesan menggurui; agar mereka lebih mudah menerima al-haq yang kita bawa.
D. Ketika kita telah mengenal bahwa yang akan kita hadapi adalah anak-anak kecil, maka seyogyanya kita berusaha menurunkan ‘kelas’ ungkapan bahasa yang akan kita pakai sesuai dengan tingkat daya tangkap mereka, agar mereka bisa memahami apa yang kita sampaikan. Juga kita sisipi dengan permainan-permainan yang menarik mereka, atau dongeng-dongeng indah -yang bukan fiksi tentunya-.
Catatan Kaki:
[1] Sirah Ibn Hisyam (hal. 421).
[2] Lihat: At-Tadarruj fi Da’wah an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (hal. 106).
[3] Lihat: As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Katsir rahimahullah(II/163).
[4] HR. Bukhari (hal. 289 no. 1458) dan Muslim (I/50 no. 19) dan ini adalah teks riwayat Muslim.
[5] Lihat: Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid karya Syaikh Ibn al-Utsaimin rahimahullah (I/132).
[6] Lihat: At-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah.
[7] Sebagaimana yang diringkas oleh Syaikh Dr. Yusuf bin Muhammad ad-Dakhil hafizhahullah.
[8] Lihat: Tafsir as-Sa’di (hal. 43) dan al-Qur’an dan Terjemahannya (hal. 43 -footnote)
Disalin Ulang Dari buku: 14 Contoh Hikmah Dalam Berdakwah Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen. Lc (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah)



1 komentar: