makalah ulumul hadist
BAB I
PENDAHULUAN
1. A.
Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di
tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
hubungannya dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang
disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara
kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai
hal yang dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya
berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat
berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat
dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan
penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak hanya ditujukan kepada apa yang
menjadi materi berita dalam hadits itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah
matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan
periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang
menyampaikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan perawi hadits sangat menentukan kualitas
hadits, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadits. Selama
riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui
mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya
kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits.
- B.
Rumusan Masalah
- Mengapa harus di adakanya
penelitian suatu hadits ?
- Langkah apa saja yang harus di
lakukan dalam meneliti suatu hadits ?
- C. Tujuan
- Menjadikan kita kritis dalam
pengambilan hukum yang menyangkut tentang hadits.
- Berpedoman dengan hadits yang
benar-benar dapat di terima keberadaanya.
- Dapat membedakan hadits-hadits
dari segi kebenaran dan kehujjahanya.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pembagian
Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
Kuantitas
hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau
dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis
besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping
pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi
tiga macam yaitu: hadits mutawatir, hadits masyhur (hadis mustafidh) dan
hadits ahad.
Hadis
Mutawatir
1)
Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir
secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau
mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak.
Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta.
Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya
sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur Ad-Din, hadist mutawatir adalah hadits
yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada
panca. Sanad mereka adalah pancaindra.
Berdasarkan
definisinya ada 4 kriteria hadits mutawatir, yaitu sebagai berikut:
a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi
hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan
yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang,
70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang
terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah
banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir
sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak
dinamakan mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid.
c. Mustahil bersepakat bohong
Di antara
alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah
banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan
berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan
kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi
masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena
sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk
berkosensus berbohong.
d. Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud
sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat
dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal
seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru
itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu
mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru
artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita
hadits itu logis, maka tidak mutawatir.
2)
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Para ulama’
berbeda pendapat dalam membicarakan hadits mutawatir. Menurut ulama’ mutaakhirin
dan ahli’ usul suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir bila
memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut:
a) Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat
untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama’ perbeda pendapat ada yang
menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama’
yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting
dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan
mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama’ yang
menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang
mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya
minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai
mula’anah.
Ada yang
minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau
mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua
puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh
puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang
laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu
Perang Badar. Kemudian menurut As-Syuyuti bahwa hadtis yang layak disebut
mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Dan pendapat
inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadits.
b) Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa
berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri.
c) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban
dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar
Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti
Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam
As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H)
Para ulama
sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu
wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits
mutawatir.
3)
Pembagian Hadits Mutawatir
Sebagian
jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:
a. Hadits Mutawatir Lafdhi
Hadits
mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama.
Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga
dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan
sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang
berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan
perincian makna hadits itu tetap sama. Contoh hadits mutawatir lafdhi yang
artinya:
“Rasulullah
SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits
tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh
orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang
sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
b. Hadits Mutawatir Maknawi
Hadits
mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun
berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain,
hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya,
menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits
mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits
mutawatir lafdhi. Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya:
“Rasulullah
SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga
terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”.
(Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi)
c. Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits
mutawatir ‘amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah
SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk
kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada
generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat,
tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah,
dan sebagainya. Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh
umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadits
mutawatir ‘amali. Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah hadits mutawatir
‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat
harta.
4)
Kedudukan Hadits Mutawatir
Seperti
telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah
hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i”
(pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan,
perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa
menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang
sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan
yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau
persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan,
atau persetujuan Rasulullah SAW.
Kedudukan
hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.
Hadits Ahad
1)
Pengertian hadits ahad
Ahad menurut
bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid atau ahad berarti
satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadits ahad menurut
bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadits
mutawatir, maka pengertian hadits ahad, menurut bahasa terasa belum
jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadits
ahad antara lain berbunyi, yaitu hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah
rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau
seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan
jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau dengan kata
lain Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
2)
Pembagian hadits ahad
a) Hadits Masyhur
(Hadits Mustafidah)
Masyhur menurut
bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut
bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa
hadits masyhur dan hadits mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama
juga memandang hadist masyhur dan hadits mustafidah sama dalam pengartian
istilah ilmu hadist yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau
lebih, dan beliau mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan batasan
tersebut, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan
tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu
belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir. Contoh hadits masyhur (mustafidah)
adalah hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah
SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu
oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
Hadits di
atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat
imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
b) Hadits ‘Aziz
‘Aziz
menurut bahasa, berarti yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang.
Hadits ‘aziz menurut bahasa berarti hadits yang mulia atau hadist yang kuat
atau hadits yang jarang, karena memang hadits ‘aziz itu jarang adanya. Para
ulama memberikan batasan yaitu hadist ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah
itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan
batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama
diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua
rawi maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh
dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz. Contoh hadits aziz adalah
hadits berikut ini, yang artinya:
“Rasulullah
SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang
paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah
dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut adalah dua orang
sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua orang rawi, namun hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz.
c) Hadits Gharib
Gharib,
menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadits
gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang
lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadits gharib adalah
hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun
dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadits yang berdiri sendiri seorang perawi
di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi,
hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh
hadits gharib itu antara lain adalah hadist berikut, yang artinya:
“Dari Umar
bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya
(dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang
diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
3) Kedudukan Hadits Ahad
Bila hadits
mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak
demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW,
tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain
dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW,
dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena
hadits ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga
(zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad,
sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain
berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad,
bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus
ditolak.
2) Pembagian
Hadits Berdasarkan Kualitas Rawi
Hadits dari
segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits
mardud. Adapun hadits maqbul ialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaanya,
dalam hal ini hadis maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan
membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Sedangkan hadits mardud ialah
hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah ialah hadits
yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya.
A.
Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih
Kata shahih
berasal dari bahasa arab as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada
shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadits shahih
hadits yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari
yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan
hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada
penerimaannya. Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sampai kepada nabi
Muhammad serta didalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Kriteria hadits shahih
Sebuah
hadits dikatakan sahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:
a) Sanadnya
bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut
hadits yang muttashil dan mausul (yang bersambung),
b) Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih
bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri,
c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan
baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja
di kehendaki,
d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu
terhindar dari syadz, dan
e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat
adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam
penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illath.
Contoh
hadits shahih: Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada
setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang
berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau
kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah,
Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk
menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang
menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Sumber-sumber
hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara
lain:
a) Al-Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama
yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M).
b) Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits
terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim
Al-Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
c) Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang
menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam
Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Nasisabury (206-261H).
d) Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih
yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313
didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab
Al-Bukhari
e) Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di
tulis oleh Abu hatim Muhammad Ibn-Hibban (354 H).
Pembagian hadits shahih
Hadits sahih
terbagi dua bagian, yaitu
a)
Hadits sahih lidzatih
Hadits
hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi
kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas, seperti
hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu
muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah
itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah).Hadits ini
antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn
Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan
sanad Al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih.
b)
Hadits sahih lighairih
Adalah
hadits yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi
disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau
dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits
sahih lighairih.
Kehujjahan
Ibnu Hazm
al- Dhahiri menetapkan bahwa hadits sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib
diyakini dengan demikian hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis sahih ini tergantung
kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya
makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkannya. Maka dapat di
simpulkan bahwa hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
kedudukannya dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan
hadits mutawatir. Semua ulama sepakat menerima hadits sahih sebagai sumber
ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama
menolak kehujjahan hadits sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat
menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
B. Hadits Hasan
Pengertian
Hasan
berarti yang baik, yang bagus, jadi hadits hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi
tidak rancu dan tidak bercacat. Hadis hasan ialah hadits yang mutttasil
sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar
kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadits itu tidak syadzdan
tidak pula terdapat ‘illat.
1. Kriteria
hadits hasan
Hadits hasan
juga mempunyai kriteria yaitu:
a) Sanadnya bersambung,
b) Para periwayat bersifat adil,
c) Diantara orang periwayat terdapat orang
yang kurang dhabith,
d) Sanad dan matan hadits terhindar dari
kejanggalan, dan
e) Tidak ber-illat (cacat).
- Pembagian hadits hasan
a)
Hasan lidzatih
Adalah
hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada
dukungan dari hadits lain dan kalau ada hanya di sebut hadits hasan maka yang
dimaksud adalah hadits lidzatih.
b)
Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah hadits dhaif yang
kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang
mengangkatnya.
Contoh
hadits hasan: sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan
mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadits ini memiliki jalur sanad,
Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan
Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun
banyak yang menganggapnya terpecaya hadits ini bersifat hasan lizatih dan sahih
lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi
hadits itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya
al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang
pertama kali mengeluarkan hadits hasan.
Meskipun ada
hadits dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadits dhaif bisa
meningkat menjadi hadits hasan, hadits dhaif yang bisa meningkat menjadi hadits
hasan adalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah seperti hadits maudhu,
matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadits diriwayatkan
oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia
bukanlah hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif yang diriwayatkan oleh
periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang
juga diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadits itu
bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadits
itu bertambah dhaif.
- Kehujjahan
Hadits hasan
dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan
ia harus diamalkan baik hadits hasan lidzatih maupun hasan lighairih, al-
Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadits hasanlah berkisar banyak hadits karena
kebanyakan hadits tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan
diamalkan oleh ulama hadits.
Hadits Dhaif
- Pengertian
Secara
bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para
ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW.
Secara terminologi hadits dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat
ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits
merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits,
oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak
terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
- Kriteria hadits dhaif
Adapun
ciri-ciri hadits daif ialah;
a)
Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta,
b)
Banyak membuat kekeliruan,
c)
Suka pelupa,
d) Suka
maksiat atau fasik,
e)
Banyak angan-angan,
f)
Menyalahi periwayat kepercayaan,
g)
Periwayatnya tidak di kenal,
h)
Penganut bid’ah bidang aqidah, dan
i)
Tidak baik hafalannya.
Dan yang
kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan
secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir
dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam
Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan
Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
Contoh
hadits dhaif adalah: “ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos
kakinya”. Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan.
- Pembagian hadits dhaif
Hadist dhaif
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a)
Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan
b)
Hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
- Kehujjahan
Khusus
hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa
syarat
:a)
Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau
hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal
haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan
untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
b) Berada di
bawah nash lain yang shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau
dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits
lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if
jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
c)
Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya. Maksudnya, ketika
kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan
adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
D. Hadits Maudhu
- Pengertian
Menurut
etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan,
ditinggalkan dan dibuat-buat, sedangkan menurut terminologi hadits maudhu ialah
sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa
yang di katakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak di setujui.Menurut
Jalaluddin Suyuthi bahwa hadits maudhu adalah hadis yang di buat-buat oleh para
pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di katakan juga dengan
hadits palsu, para pemalsu hadits membuat suatu matan dengan kemauannya sendiri
dengan rangkain muatiara yang indah kalimat yang lengkap dan pribahasa yang
padat penuh arti, kemudian disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil
sampai kepada nabi Muhammad SAW.
- Pembagian hadits maudhu
Hadits ini
hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk
mengetahui hadis maudhu, ada beberapa macam hadits maudhu yaitu, Seseorang
mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian
dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang
mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia
menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW, juga seseorang melakukan kesalahan
dalam meriwayatkan suatu hadits dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan
nabi seperti Habib bin Musa Al-Zahid dalam haditsnya menyatakan barang siapa
banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.Hadis ini
dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim
saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah mereka banyak
mengarang hadits untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan
hadits pada berbagai masa orang-orang suka menurutkan hawa nafsu terus menerus
untuk berbohong.Hammad bin Zaid telah memalsukan tak kurang dari 14.000 hadits
palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi Al-Auja telah memalsukan 4000
hadits mengatakan adapun yang melatar belakangi munculnya hadits palsu
ini adalah :
a) Untuk menimbulkan
kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
b) Untuk mempertahankan
pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh
abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali,
c) Untuk menarik
perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang
menamakan dirinya Zuhud,
d) Untuk mempertahankan
mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran
Rafidhah,
e) Untuk mendekatkan
diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok
dengan program dan tujuan mereka, dan
f) Untuk mencari
rezeki dengan membuat haditts-hadits maudhu seperti yang dilakukan oleh
pencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.
- Kriteria hadits maudhu
Hadits
maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan matannya, jika dilihat dari
sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya
dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi:
a)
Susunan lafalnya kacau,
b)
Maknanya rusak,
c)
Bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan,
d)
Bertentangan dengan hadis mutawatir,
e)
Bertentangan dengan aqidah umum baik dengan Al-Qur’an amupun sunnah, dan
f)
Pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Demikian
hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan
kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara
individu, atau menunjukan kualitas hadits ahad, jika disertai pemeriksaan
memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul.
Hadits ahad
masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan
para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita
secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti
(qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad bersifat
relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam
kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhan
dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air
mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi
orang yang berpuasa, dan lain-lain.
Pengertian
zhan tidak terpaut dengan syakk (ragu) dan juga tidak terpaut dengan waham.
Zhan diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, sedangkan
Syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah
dugaan lemah (marjuh).
B.
Saran
Dengan
mengetahui beberapa definisi dan penjelasan dari pembagian hadits di atas, di
harapkan kita paham dan mengerti, sehingga dalam penentuan hukum dari suatu
massalah, yang khususnya dari hadits dapat di peroleh kejelasan yang pasti akan
hukum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, A. M.
(2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Mudzakir, M.
(1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, F.
(1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Al-Nawawi,
I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Shalih,
S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ismail, M.
S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
*jangan lupa
komentarnya ya akh….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar